Sabtu, 25 April 2015

Pelajaran dari seorang gelandangan

Oleh: Tidak Diketahui
Penterjemah: Wiwi

Hari itu, hari Minggu yang dingin di musim gugur.
Pelataran parkir menuju gereja sudah hampir penuh.
Ketika aku keluar dari mobilku, aku melihat bahwa
teman-temanku sesama anggota gereja saling
berbisik-bisik sementara mereka berjalan menuju
gereja.

Ketika aku hampir sampai, aku melihat seorang pria
terbaring di dinding di luar gereja. Dia tergeletak
sedemikian rupa seakan-akan dia sedang tidur. Dia
mengenakan sebuah mantel panjang yang robek-robek dan
sebuah topi di kepalanya, jatuh kebawah menutupi
wajahnya. Dia memakai sepatu yang kelihatannya sudah
berumur 30 tahun, terlalu kecil untuk kakinya, dengan
lubang disana sini, jarinya menyembul keluar.

Kelihatannya pria ini seorang gelandangan yang tidak
memiliki rumah (tuna wisma), dan sedang tertidur,
sehingga aku terus berjalan ke pintu gereja.

Kami berkumpul selama beberapa menit, dan seseorang
menyampaikan tentang pria yang terbaring di luar.
Orang-orang mentertawakan dan berbisik-bisik
membicarakan masalah ini tetapi tidak ada yang mau
mengajak pria itu untuk masuk ke dalam, termasuk aku.

Beberapa lama kemudian kebaktian dimulai. Kami semua
menunggu Pendeta yang akan maju ke depan dan
menyampaikan Firman Tuhan, ketika pintu gereja
terbuka.

Muncullah pria tunawisma itu berjalan di lorong gereja
dengan kepala tertunduk.

Semua orang menarik nafas dan berbisik-bisik dan
terkejut.

Pria itu terus berjalan dan akhirnya sampai di
panggung, dia membuka topi dan mantelnya. Hatiku
terguncang.

Disana berdiri pendeta kami ... dialah "gelandangan"
itu.

Tidak ada seorangpun yang berbicara.

Pendeta mengambil Alkitabnya dan meletakkannya di
mimbar.

"Jemaat, saya kira tidak perlu bagi saya untuk
mengatakan apa yang akan saya khotbahkan hari ini.
Jika kamu terus menghakimi / menilai orang, kamu tidak
akan punya waktu untuk mengasihi mereka."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar