Minggu, 26 April 2015

Membuka pintu hati

Oleh: Arvan Pradiansyah (Penulis buku You Are A
Leader)
Kiriman: --@Bassisette@--

Sekelompok orang yang baru saja meninggal mendapatkan
diri mereka sedang berdiri antre di depan gerbang
akhirat. Sambil menunggu pengadilan Illahi, mereka
mulai menanyai diri mereka sendiri mengenai perilaku
mereka di dunia.

"Apakah dulu aku menjadi orang tua yang baik?"
"Apakah aku berhasil mencapai sesuatu yang berharga
dalam hidupku?"
"Apakah aku rajin beribadah sepanjang malam?"
"Apakah aku cukup berderma kepada fakir miskin?"
Dan, ketika akhirnya mereka sampai di gerbang, semua
jiwa itu dihadapkan hanya pada satu pertanyaan,
"Seberapa besar kamu dulu mengasihi?"

Mengasihi orang lain adalah langkah pertama dari
perjalanan panjang masuk ke dalam diri. Perjalanan ke
dalam diri memang tak mudah. Banyak orang menyerah
ketika baru memulainya. Kesibukan sehari-hari sering
menjadi alasan. Tapi, penyebab sebenarnya bukan itu.
Persoalan sebenarnya adalah pintu hati kita yang
tertutup, bahkan terkunci. Ini membuat telinga kita
tak mendengar dan mata kita tak melihat. Kita tak akan
pernah dapat memulai perjalanan sebelum menemukan
kuncinya, yaitu "cinta dan kasih Sayang."

Tanpa adanya rasa cinta pada sesama, pintu-pintu
gerbang menuju kesadaran yang terdalam tak akan pernah
terbuka. Agama-agama besar di dunia sebenarnya
memiliki pesan tunggal: kasih sayang. Bahkan, Tuhan
selalu dilukiskan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang.

Salah satu cara praktis untuk mengembangkan sikap
cinta kasih adalah dengan mulai menyadari akan
penderitaan. Sadar akan penderitaan -- entah itu
penderitaan kita sendiri atau penderitaan orang lain
-- akan membuat hati kita melunak.

Mari kita mulai dengan sebuah cerita.

Di sebuah SD seorang guru bertanya pada
murid-muridnya, "Siapa yang sudah sarapan pagi ini?"

Kira-kira separo murid mengacungkan tangan.

Guru itu kemudian bertanya kepada anak-anak yang tidak
mengacungkan tangan, "Mengapa kalian tidak sarapan?"

Sebagian menjawab tak sempat karena sudah terlambat.
Sebagian lagi mengatakan belum merasa lapar, ataupun
tak menyukai sarapan yang disajikan. Semua memberikan
jawaban senada kecuali satu anak.

"Karena," jawabnya, "Sekarang bukan giliran saya."

"Bukan giliranmu?" tanya sang guru. "Apa maksudmu?"

"Dalam keluarga kami ada empat anak," ujarnya, "Tapi,
ayah tak punya cukup uang untuk membeli makanan supaya
tiap orang bisa sarapan setiap hari. Kami harus
bergiliran dan hari ini bukan giliran saya."

Apa yang Anda rasakan ketika membaca kisah ini?

Orang-orang seperti ini ada di sekitar kita. Tapi,
kadang-kadang kita tak bisa melihatnya karena mata
kita tertutup. Yang sebenarnya tertutup adalah mata
hati kita. Ini bisa terjadi karena hati kita dipenuhi
oleh ego dan kepentingan kita sendiri. Kita terlalu
banyak tertawa dan sibuk bergaul dengan orang-orang
berpunya. Ini membuat hati kita tertutup. Untuk
menjalankan cinta kasih kita perlu memulai dengan
mencintai diri kita, kemudian orang-orang terdekat
kita. Lihatlah mereka dengan hati Anda. Bukankah orang
tua Anda adalah orang yang rela mengorbankan hidupnya
bagi Anda? Bukankah pasangan Anda adalah orang yang
telah memilih menyerahkan hidupnya kepada Anda?
Bukankah anak-anak Anda sangat mengagumi Anda dan
merindukan kebersamaan dengan Anda? Bukankah pembantu
Anda adalah orang miskin yang mengabdikan hidupnya
untuk melayani Anda? Teruslah perluas dengan mengamati
orang-orang di sekitar Anda. Mereka semua memiliki
penderitaan dan tantangan masing-masing.

Seorang bijak pernah mengatakan, "Ketika kamu melihat
dirimu tidak berbeda dari orang lain, ketika kamu
merasakan apa yang mereka rasakan, lalu siapa yang
bisa kamu sakiti?"

Inilah cara menumbuhkan cinta. Kita semua sama karena
itu jangan pernah menilai orang dari penampilan
fisiknya. Tubuh bukanlah diri kita yang sebenarnya
tetapi hanya sekadar 'sangkutan' dari jiwa. Jiwa
itulah esensi manusia yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar